Maksimalkan Amalan di Bulan Penuh Ampunan

Syauqisubuh- Sesungguhnya banyak sekali kemuliaan yang bisa kita temukan pada bulan Ramadhan. Di antaranya ialah bahwa pada bulan Ramadhanlah al-Quran turun pertama kali kepada Nabi SAW. Pada momen Ramadhan juga milyaran umat Islam di seluruh antero bumi berharap temu dengan Lailatul Qadar. Dan hanya pada jeda 30 hari inilah bisa terselenggara beberapa ibadah yang mulia seperti puasa Ramadhan, shalat tarawih dan zakat fitrah, yang tentunya terdapat hikmah dan nilai luhur yang bisa kita petik darinya, memanen pahala darinya sekaligus berharap maghfirah atas dosa-dosa yang pernah dilakukan. Maka kecewa dan merugilah seorang muslim yang berkesempatan hidup pada bulan Ramadhan tetapi tidak terampuni dosa-dosanya.

Dalam bahasa Arab kata Ramadhan digunakan untuk mengisyaratkan kepada hadirnya suasana panas pada saat bumi mengering karna kemarau atau kepada rasa panas yang dirasakan orang yang sedang kehausan. Ramadhan juga direpresentasikan sebagai kekuatan panas yang dapat melebur materi. Kata Ramadhan digunakan karena pada saat itu dosa-dosa terhapuskan oleh perbuatan baik sebagaimana matahari membakar tanah. Lebih lanjut lagi hal itu dimetaforakan dengan dimanfaatkannya momen Ramadhan oleh umat Islam yang bersungguh-sungguh untuk mencairkan, menata ulang dan memperbaharui kekuatan spiritual, fisik serta tingkah lakunya. Dari sini kita sudah bisa menyimpulkan bahwa Ramadhan adalah momen berharga yang penuh dengan pengampunan dosa.

Sambut Ramadhan dengan persiapan
Tidak sedikit orang yang gagal memaksimalkan kemuliaan yang bisa diraih dari Ramadhan, padahal saat itu pintu maghfirah terbuka lebar. Langkah awal memaksimalkan Ramadhan adalah dengan mempersiapkan diri sejak bulan Sya’ban. Dengan melatih diri untuk bangun malam dengan shalat tahajjud. Begitupun juga melakukan puasa sunnah, sebagaimana telah disunnahkan Rasulullah Saw. Dalam hadits Bukhari dan Muslim, dari Aisyah Ra. berkata. “Saya tidak pernah melihat Rasulullah berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan, dan saya tidak pernah melihat beliau banyak berpuasa selain di bulan Sya’ban.”
Kemudian genapkan kekhusyu’an Ramadhan dengan menyambung silaturahim. Ketika menyambut datangnya Ramadhan Rasulullah Saw. bersabda: “Barangsiapa menyambung tali persaudaraan (silaturrahim) di bulan ini, Allah akan menghubungkan dia dengan rahmat-Nya. Barang siapa memutuskan kekeluargaan di bulan ini, Allah akan memutuskan rahmat-Nya pada hari ia berjumpa dengan-Nya.” Puasa mendidik jiwa manusia  kasih sayang dan tali cinta, dan akan lebih sempurna jika didahului dengan menyambung silaturahim yang pernah atau hampir putus. 
Persiapan lainnya sebelum memasuki Ramadhan, seorang Shaim harusnya berdisiplin diri menjaga waktu shalat fardhu, karena nilai fardhu pada Ramadhan setara dengan 70 kali shalat fardhu di bulan lain. Maka hendaknya ia tidak menggampangkan diri mengulur shalat fardhu. Menurut Sa’id bin Musayyab, yang dimaksud dengan tarkush-shalat (meninggalkan shalat) ialah tidak segera mendirikan shalat tepat pada waktunya. Misalnya menjalankan shalat zhuhur menjelang waktu ashar, ashar menjelang maghrib, shalat maghrib menjelang isya, shalat isya menjelang waktu subuh serta tidak segera shalat subuh hingga terbit matahari. Allah Swt. berfirman; 

Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang buruk) yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka kelak mereka akan menemui kesesatan kecuali orang-orang yang bertaubat dan beramal shalih. (Maryam: 59).

#Tingkatkan amalan-amalan sunnah
Sangatlah dianjurkan menegakkan ibadah-ibadah sunnah pada bulan yang mulia ini. Mendekatkan diri kepada Allah, bersegera dalam mengerjakan perbuatan-perbuatan baik dan berdoa dengan harap dan cemas. Termasuk di dalamnya menjalankan ibadah shalatul-lail. Sebuah Hadits Qudsy menyatakan: “Dan hamba-Ku masih mendekatkan diri kepada-Ku dengan ibadah-ibadah sunnah, sampai Aku mencintainya.”

Baca Juga

Mendekatkan diri kepada Allah Swt, juga bisa dilakukan dengan menginfaqkan sebagian harta benda yang kita miliki. Salah satu tujuan utama shiyam ialah agar manusia mampu mereduksi sifat rakus pada dirinya terhadap makanan minuman maupun pada harta benda, karena ia termasuk sifat syaitan. Cinta dunia serta gelimang kemewahan hidup sering membuat manusia lupa akan tujuan hidup sesungguhnya. Dengan berinfaq akan mengikis sedikit demi sedikit sifat kikir dan rakus terhadap harta duniawi.
Kemudian tingkatkan kualitas hidup bermasyarakat. Selama Ramadhan frekuensi shalat berjama’ah di masjid hendaknya semakin meningkat. Selain itu lapar dan haus mestinya mampu mengasah jiwa sosial dan empati terhadap kesusahan sesama manusia, khususnya sesama Muslim. Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang berjuang secara berjama’ah, yang saling menguatkan. “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam saatu barisan yang teratur, seakan-akan mereka seperti bangunan yang tersusun kokoh.” (Ash-Shaf: 4). Maka Ramadhan seharusnya menguatkan kualitas hidup berjama’ah.
#Hindari sesuatu yang tidak berguna
Jauhi diri dari bicara sia-sia dan dusta. Rasul Saw. bersabda: “Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dusta perbuatan Az-Zur, maka Allah tidak membutuhkan perbuatan orang yang tidak bersopan santun, maka tiada hajat bagi Allah padahal dia meninggalkan makan dan minumnya.” (HR Bukhari dari Abu Hurairah). Ramadhan adalah peluang bagi kita untuk melatih lisan agar senantiasa bertutur kata yang baik-baik. Umar ibn Khattab Ra berkata: “Puasa ini bukanlah hanya menahan diri dari makan dan minum saja, akan tetapi juga dari dusta, dari perbuatan yang salah dan tutur kata yang sia-sia.” Ciri orang gagal memetik buah Ramadhan ialah kerap berkata sesuatu yang berlawanan dengan hati kecilnya. Dan tutur katanya cenderung tidak ditimbang dengan pertimbangan yang matang.
Orang yang melakukan perbuatan sia-sia, kemaksiatan, hura-hura, lalai atas karunia waktu yang dianugrahkan padanya, juga termasuk ke dalam ciri orang yang gagal dalam ber-Ramadhan. Disiplin waktu selama Ramadhan semestinya membekas kuat dalam bentuk cinta ketertiban dan keteraturan. Allah berfirman: ‘Kamu tidak tingal di bumi melainkan sebentar saja, kalau kamu sesungguhnya mengetahui. “Maka apakah kamu mengira sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami? Maka Maha Tinggi Allah, Raja Yang sebenarnya; tidak Tuhan yang berhak disembah selain Dia, Tuhan yang mempunyai Arsy yang mulia.” (Al-Mu¹minun: 115-116).
Usaha lain untuk memaksimalkan nilai Ramadhan adalah dengan tidak mudah mengumbar amarah. Karna Ramadhan adalah ajang untuk mengasah kekuatan hati. Nabi Saw bersabda: “Puasa itu perisai diri, apabila salah seorang dari kamu berpuasa maka janganlah ia berkata keji dan jangan membodohkan diri. Jika ada seseorang memerangimu atau mengumpatmu, maka katakanlah sesesungguhnya saya sedang berpuasa.” (HR. Bukhari dan Muslim). Dalam hadits lain beliau bersabda: “Orang kuat bukanlah orang yang selalu menang ketika berkelahi. Tapi orang yang kuat adalah orang yang bisa menguasai diri ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
#Sempurnakan akhir Ramadhan.
Khalifah Umar ibn Abdul Aziz memerintahkan seluruh rakyatnya supaya mengakhiri puasa dengan memperbanyak istighfar dan memberikan sadaqah, karena istighfar dan sadaqah dapat menambal yang robek-robek atau yang pecah-pecah dari puasa. Menginjak hari-hari berlalunya Ramadhan, mestinya kita semakin sering melakukan muhasabah (introspeksi) diri. Bukannya justru sibuk mempersiapkan Lebaran. Kebanyakan orang semakin disibukkan oleh urusan lahir dan logistik menjelang Iedul Fitri. Banyak yang lupa bahwa 10 malam terakhir merupakan saat-saat genting yang menentukan nilai akhir kita di mata Allah dalam bulan mulia ini. Menjadi pemenang sejati atau pecundang sejati. Konsentrasi pikiran telah bergeser dari semangat beribadah, kepada luapan kesenangan merayakan Idul Fitri dengan berbagai kegiatan, akibatnya lupa seharusnya sedih akan berpisah dengan bulan mulia ini.
Secara harfiah makna Idul Fitri berarti “hari kembali ke fitrah”. Namun kebanyakan orang memandang Iedul Fitri laksana hari dibebaskannya mereka dari ‘penjara’ Ramadhan. Akibatnya, hanya beberapa saat setelah Ramadhan meninggalkannya, ucapan dan tindakannya kembali cenderung tak terkendali, syahwat dan birahi diumbar sebanyak-banyaknya. Mereka lupa bahwa Iedul Fitri seharusnya menjadi hari di mana tekad baru dipancangkan untuk menjalankan peran khalifah dan abdi Allah secara lebih profesional. Kesadaran penuh akan kehidupan dunia yang berdimensi akhirat harus berada pada puncaknya saat Iedul Fitri, dan bukan sebaliknya.

#Buah manis Ramadhan
Hawa nafsu dan syahwat yang digembleng habis-habisan selama bulan Ramadhan merupakan pintu utama ketergantungan manusia pada sesama makhluk. Jika jiwa seseorang berhasil merdeka dari kedua mitra syetan itu setelah Ramadhan, maka yang mengendalikan dirinya adalah ‘aqal dan akhlaq. Orang yang tunduk dan taat kepada Khaliq lebih mulia dari mereka yang tunduk kepada makhluq.
Lalu dengan ketundukannya tersebut jiwanya akan terasa mantap, hatinya tenteram, perasaannya tenang dalam menghadapi keadaan apapun. Salah satu ciri utama alumnus Ramadhan yang berhasil ialah tingkat taqwa yang meroket. Dan setiap orang yang ketaqwaannya semakin kuat akan semakin semangat mensyiarkan Islam. Berbagai kegiatan amar ma’ruf nahiy munkar dilakukannya, karena ia ingin sebanyak mungkin orang merasakan kelezatan iman sebagaimana dirinya. Jika semangat ini tak ada, gagallah Ramadhan seseorang.
Sesungguhnya shiyam Ramadhan yang merupakan perintah Allah yang harus dikerjakan dan selanjutnya dipertanggungjawabkan di hadapan-Nya kelak, ibarat utang yang harus ditunaikan secara rahasia kepada Allah. Maka orang yang terbiasa memenuhi amanah dalam ibadah sirr (rahasia) tentu akan lebih menepati amanahnya terhadap orang lain, baik yang bersifat rahasia maupun yang nyata. Sebaliknya orang yang gagal Ramadhan mudah mengkhianati amanah, baik dari Allah maupun dari manusia. (Agung Nurcholis)

wallahu a’lamu bishshawab

Leave a Comment