Kisah Syuraih Al-Qadhi Yang Terkenal Dengan Kebijaksanaannya

Syuraih ditanya, “Bagaimanakah caranya Anda mendapatkan Ilmu?”
Beliau menjawab, “Dengan cara diskusi dengan ulama. Saya mendapatkan Ilmu dari mereka dan mereka pun dapat mengambil pelajaran dari saya.” (Sufyan al-Awsi).

Pada suatu saat, Amirul Mukminin Umar bin Khattab r.a. membeli seekor kuda dari seorang Arab Badui. Setelah beliau membayarnya, langsung menaiki kuda tersebut dan pergi meninggalkan penjualnya. Namun, belum begitu jauh berjalan, beliau mendapatkan suatu aib pada kuda tersebut, akhirnya beliau memutuskan untuk kembali lagi kepada penjualnya untuk membatalkan transaksi dan mengembalikan kuda tersebut. Akan tetapi, si penjual tidak menerima keputusan sepihak tersebut, karena ia telah menjualnya dalam keadaan sehat (tidak ada aib). Akhirnya, keduanya bersepakat untuk menyelesaikan masalah mereka di pengadilan, dan mereka pun memilih Syuraih sebagai penengah (hakim) yang memutuskan perkara mereka berdua.
Setelah Syuraih mendengarkan penjelasan dari si penjual, dia bertanya kepada Umar bin Khattab, “Bukankah Anda telah menerima kuda tersebut dalam keadaan sehat (tanpa aib)?”
Umar pun menjawab, “Ya, benar.”

Kemudian Syuraih mengatakan lagi, “Kalau begitu Anda harus menerimanya menjadi milik Anda atau Anda harus mengembalikan kuda tersebut dalam keadaan sehat (tanpa aib) sebagaimana Anda menerima dari penjual pada awalnya.”
Umar pun tercengang keheranan, dan mengatakan, “Inikah keputusan anda? Sungguh suatu keputusan yang sangat adil, kalau begitu pergilah Anda ke Kufah dan Anda saya angkat menjadi hakim di sana.”

Ketika itu Syuraih bukanlah orang asing di kalangan para sahabat dan pembesar Tabiin. Dia adalah orang yang terkenal dengan kecerdasan, akhlak yang mulia, dan pengalamannya yang sangat banyak.
Dia dilahirkan di Yaman, dan sebagian hidupnya berada dalam kehidupan Jahiliyah. Ketika Islam menyinari negeri Yaman, dia termasuk orang yang pertama menerima dakwah Islam dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memahaminya. Dia berharap mudah-mudahan dapat pergi ke Madinah, untuk berjumpa dengan Rasulullah saw., sebelum beliau menghadap Allah, sehingga dia menerima Ilmu langsung dari sumbernya tanpa perantara dan juga mendapat gelar kemuliaan predikat sahabat, sehingga dengan seperti itu berbagai macam kebaikan terkumpul dalam dirinya. Akan tetapi, Allah telah menghendaki hal lain. 
Keputusan Umar untuk mengangkat Syuraih sebagai hakim di Kufah, bukanlah suatu keputusan yang tergesa-gesa, walaupun pada waktu itu masih banyak sekali para sahabat Rasulullah saw. Realita perjalanan hidupnya membuktikan tajamnya firasat Umar yang telah mengangkat Syuraih sebagai hakim, terbukti Syuraih selanjutnya masih tetap menjadi hakim sampai hampir enam puluh tahun lamanya, yaitu pada masa kepemimpinan Al-Hajjaj, sementara umurnya sudah mencapai seratus tujuh tahun. 
Sungguh suatu bukti sejarah yang tidak bisa dilupakan dari kehidupan umat Islam, khususnya yang berkaitan dengan masalah peradilan Islam, apa yang telah ditempuh oleh seorang hakim yang bijaksana yaitu Syuraih dalam berbagai macam keputusannya, dalam menyelesaikan masalah yang sesuai dengan apa yang diridai Allah dan Rasul-Nya. Salah satu sejarah yang menunjukkan kebijaksanaan Syuraih adalah ketika suatu saat Khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. kehilangan baju perangnya yang sangat berharga baginya, kemudian beliau mendapatkan baju tersebut sedang dijual di pasar Kufah oleh seorang ahlu dzimmah (orang kafir yang dilindungi karena membayar pajak). 
Setelah mereka berdua saling merasa memiliki baju tersebut akhirnya mereka menghadap kepada hakim Kufah, yang tidak lain adalah Syuraih. Setelah mereka menghadap, Syuraih mempersilahkan Ali r.a. untuk mengemukakan gugatannya yang selanjutnya disusul dengan bantahan ahlu dzimmah terhadap gugatan tersebut. Akhirnya, dalam rangka menegakkan keadilan (bukan karena keraguan terhadap gugatan Ali r.a.) Syuraih meminta Ali r.a. untuk menghadirkan dua saksi yang menguatkan bahwa baju perangnya yang hilang adalah betul-betul yang sekarang berada pada tangan ahlu dzimmah tersebut. 
Dan, Ali pun menyetujuinya dan menunjuk budaknya yang bernama Qonbar dan anaknya yang bernama Al-Hasan untuk menjadi saksi baginya. Namun, ternyata Syuraih menolak persaksian Al-Hasan (walaupun Al-Hasan adalah orang yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah saw.), lagi-lagi bukan karena meragukan persaksian Al-Hasan, namun dalam rangka menegakkan keadilan, karena dalam peradilan Islam seorang anak tidak dapat menjadi saksi untuk memenangkan perkara bapaknya. Akhirnya Ali r.a. pun mengalah, karena beliau tidak mempunyai saksi kcuali dua orang tersebut. 
Namun, kemudian ahlu dzimah tersebut angkat bicara dan mengatakan, “Saya yang menjadi saksi akan kebenaran gugatan Anda wahai Amirul Mukminin, dan memang baju perang yang ada pada saya adalah milik Anda. Dan, saya bersaksi bahwa Agama kalian adalah agama yang benar dan saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak untuk disembah kecuali Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan rasul-Nya.”

Dengan keadilan Islam yang ditunjukkan oleh Syuraih, seorang ahlu dzimmah mendapatkan hidayah untuk masuk Islam, yang akhirnya Khalifah Ali r.a. justru menjadikan baju perang tersebut untuknya dan ditambah lagi dengan kuda perang. Kemudian, belum begitu lama dari kejadian ini, orang tersebut ikut memerangi Khawarij bersama Khalifah Ali r.a. dan Allah memberikan rezeki kepada orang tersabut berupa mati syahid. 
Satu kisah lagi yang menarik pada kehidupan Syuraih adalah ketika putranya mengadu kepadanya bahwa dia mempunyai masalah dengan seseorang, putranya mengatakan apabila bapaknya melihat bahwa masalah ini akan dimenangkan olehnya, dia meminta bapaknya untuk mengadakan peradilan, dan apabila dimenangkan oleh lawannya, dia (putranya) akan meminta damai saja. Setelah anaknya menceritakan masalah tersebut, tidak lama kemudian bapaknya (Syuraih) memerintahkan anaknya untuk mengangkat masalah tersebut kepada pengadilan.
Dalam pengadilan tersebut Syuraih memerintahkan lawan anaknya untuk menyampaikan argumentasinya, dan setelah itu dia pun memenangkan lawan anaknya dalam masalah tersebut. Dalam perjalanan pulang dari pengadilan, anaknya mengeluh akan tindakan bapaknya tersebut, padahal sebelumnya anaknya telah meminta kalau dia menurut bapaknya akan kalah, maka tidak perlu dibawa ke pengadilan, cukup dia akan berdamai saja. 
Namun, mengapa bapaknya membawa masalah tersebut ke pengadilan dan memenangkan lawannya. Untuk menjawab ini Syuraih mengatakan kepada anaknya, “Wahai anakku, demi Allah kamu lebih saya cintai dari dunia dan seisinya, akan tetapi Allah Azza wa-Jalla adalah Zat Yang Maha Perkasa. Saya khawatir kalau saya beri tahu kamu sebelumnya bahwa kebenaran berada pada mereka, maka kamu akan hanya sekadar meminta maaf saja (berdamai) sehingga dengan begitu kamu telah merampas sebagian hak mereka. Oleh karena itu, saya lakukan apa yang telah kamu saksikan.” 
Pernah juga salah seorang putranya menjadi jaminan seorang terdakwa, namun ternyata orang tersebut lari dari pengadilan. Akhirnya Syuraih memenjarakan putranya dengan orang yang ia jamin, dan setiap hari beliau mengirimkan makanan untuknya dengan tangan beliau sendiri. Terkadang datang keraguan dalam benak beliau tentang kebenaran para saksi, teapi beliau tidak punya alasan untuk menolak mereka karena mereka telah memenuhi persyaratan. Untuk itu beliau selalu berkata kepada mereka sebelum memberikan kesaksian, “Dengar, wahai para saksi! Sebenrnya kalianlah yang mengadili orang ini, saya berlindung dari siksa neraka dengan kalian dan seharusnya kalian lebih sungguh sungguh melindungi kalian sendiri, kalian masih saya beri kesempatan untuk memilih: akan melanjutkan kesaksian atau tidak.” 
Jika mereka tetap bersikeras untuk bersaksi beliau beralih kepada terdakwa seraya berkata, “Ketahuilah bahwa saya mengadilimu dengan kesaksian mereka, saya pribadi mengira kamu seorang yang zalim, tetapi saya tidak akan memutuskan atas dasar praduga melainkan dengan kesaksian, apa pun putusan saya nanti tidak akan menghalalkan apa yang telah Allah haramkan atasmu.”

Moto yang dijunjung tinggi oleh Syuraih dalam peradilannya adalah bahwa suatu kezaliman pasti akan nampak nanti di akhirat, yang zalim pasti mendapatkan akibatnya dan yang dizalimi pasti akan mendapatkan keadilan. Dia mengatakan, “Saya bersumpah demi Allah, tidak ada seorang pun yang meninggalkan sesuatu karena Allah Azza wa-Jalla kemudian dia merasa kehilangan.” Syuraih bukan sekadar melaksanakan nasihat karena Allah, Rasul-Nya ataupun kitab-Nya, tetapi dia juga melaksanakan nasihat bagi seluruh kaum muslimin baik rakyat ataupun pemimpinnya. 
Seseorang pernah mengadu (mengeluh) kepada Syuraih tentang suatu masalah, kemudian Syuraih menarik orang tersebut dan mendudukkannya di sisinya, lalu dikatakan kepadanya, “Wahai saudaraku, janganlah kamu mengeluh kepada selain Allah, karena orang tempat kamu mengeluh itu bisa jadi dia seorang teman atau justru seorang musuh. Apabila dia seorang teman, kamu telah membuatnya sedih; apabila  dia seorang musuh, dia akan mencela kamu”. Kemudian, Syuraih mengatakan lagi kepadanya, “Lihatlah mata saya (sambil menunjuk ke salah satu matanya), demi Allah saya tidak pernah melihat seseorang ataupun suatu jalan dengan mata ini semenjak lima belas tahun lamanya, dan saya tidak pernah memberitahukan hal ini kecuali kepada Anda, bukankah Anda pernah mendengar seorang hamba yang saleh mengatakan, ‘Sesungguhnya saya hanya mengadukan nasib saya dan kesedihan saya kepada Allah.’ Maka, jadikanlah Allah Azza wa-Jalla sebagai tempat mengadukan nasib dan kesedihan yang Anda hadapi, karena Dia adalah Zat Yang Mahamulia lagi sangat dekat dengan orang yang meminta kepada-Nya.”

Suatu hari dia melihat seorang laki-laki sedang meminta-minta, kemudian dia mengatakan kepada orang tersebut, “Wahai saudaraku barang siapa yang meminta minta kepada orang lain, dia telah menjerumuskan dirinya ke dalam kehinaan. Apabila orang yang diminta mengabulkan permintaannya, dia telah memperbudaknya, tetapi apabila tidak dikabulkan, keduanya terjerumus ke dalam kehinaan, kehinaan bakhil dan meminta-minta. Oleh karena itu, apabila kamu hendak meminta suatu kebutuhan, mintalah kepada Allah, apabila kamu minta pertolongan mintalah hanya kepada Allah. Dan, ketahuilah bahwasanya tidak ada daya dan upaya dan tidak ada pertolongan kecuali pada Allah SWT.” Pada akhir kehidupan Syuraih, negeri Kufah terserang wabah penyakit Tha’un. Seorang sahabatnya pergi meninggalkan Kufah dan hendak tinggal di Najf guna menghindari wabah tersebut, lalu Syuraih menulis surat kepada temannya tersebut untuk menasihatinya, “Amma bakdu, sesungguhnya tempat yang Anda tinggalkan tidak membuat Anda dekat dengan kematian, dan tempat yang Anda tuju tidak pula dapat menjauhkan Anda darinya, saya dan Anda adalah sama-sama berada di bawah penguasa yang satu, dan Najf adalah sangat dekat dari Zat Yang Maha Kuasa.” 

Selain dari kisah kebijaksanaan Syuraih dalam tugasnya sebagai hakim di pemerintahan Islam di kufah, dia juga dikenal sebagai penyair yang dapat menghadirkan ungkapan-ungkapan yang manis ….
Dalam satu riwayat diceritakan bahwa Syuraih mempunyai anak yang umurnya sekitar sepuluh tahun yang sangat lucu dan suka bermain. Pada suatu hari dia tidak melihat anaknya tersebut, yang ternyata anaknya tidak mengulang pelajarannya dan malah bermain dengan anjing. Ketika anaknya pulang dia bertanya, “Apakah kamu sudah melaksanakan salat?”
Lalu, anaknya menjawab, “Belum!”

Akhirnya Syuraih menulis surat kepada guru anaknya dengan bersyair.

Ia tinggalkan salat demi anjing-anjing
Mempermainkannya bersama teman yang buruk perangainya
Besok ia kan datang dengan secarik kertas
Tertuliskan seperti isi surat kematiannya
Andaikan ia datang kepadamu
Obatilah dengan cerca atau nasihat seorang sastrawan
Jika engkau ingin memukulnya pakailah cambuk
Jika telah sampai hitungan tiga hentikanlah
Ketahuilah bahwa engkau tidak sanggup melakukannya
Dia dan apa yang kuminum adalah hartaku yang paling berharga

Mudah-mudahan Allah meridai Umar al-Faruq yang telah menghiasi peradilan Islam dengan mutiara-mutiara hakim yang jernih nan apik, di mana umat Islam hingga saat ini masih saja menikmati cahaya dari kilatan kepahamannya terhadap syariat Allah dan sunah rasul-Nya, yang pada akhirnya nanti di hari kiamat mereka akan bangga dengan nikmat tersebut dibanding dengan umat sebelum mereka. 
Mudah-mudahan Allah merahmati Syuraih yang bijaksana. Sungguh dia telah berbuat adil di tengah-tengah masyarakat selama enam puluh tahun lamanya, dan selama itu pula dia tidak pernah berbuat zalim, juga tidak pernah melenceng dari kebenaran dan tidak pernah membedakan antara raja dan rakyatnya. Wallahu a’lam 
Source: Al Islam,07/01/04

Leave a Comment