Nuzulul Qur’an : Menggali Makna Al-Quran dan Mengamalkannya

Syauqisubuh- Al-Quran yang hingga kini dibaca oleh umat manusia dengan berbagai motif pembacaannya adalah (juga) al-Quran yang dahulu dibaca oleh Nabi Muhammad s.a.w. beserta para sahabatnya. Mungkn saja formatnya bisa terus berubah, dari sesuatu yang dihafal, ditulis di dalam lembaran-lembaran suci hingga terkopi menjadi kepingan cd, vcd dan dvd; Tetapi esensinya tetap satu: “firman Alah” , dengan fungsi utama yang sama: “petunjuk”, dengan berbagai perluasan maknanya. Pertanyaan pentingnya sekarang adalah: “kenapa al-Quran yang dahulu telah menjadikan Muhammad (Rasulllah) s.a.w. “uswah hasanah” (teladan yang baik), melahirkan Generasi Qur’ani — salafus shâlih — kini seolah tidak lagi mampu menjadi pelita bagi umat manusia, termasuk di dalamnya sekelompok orang yang mengaku menjadi pengikut Muhammad (s.a.w.) Sang Teladan?

Seorang intelektual dari belahan bumi Afrika — Muhammad Farid Esack – dalam bukunya yang berjudul: The Qur’an: A Short Introduction — menstratifikasi pembaca teks al-Quran – yang kemudian ia sebut pecinta– menjadi tiga tingkatan: pecinta tak kritis (the uncritical lover); pecinta ilmiah (the scholarly lover); dan pecinta kritis (the critical lover).

Menurut Esack, keindahan body of a beloved (baca: teks al-Quran) selalu diapresiasi para pecinta (baca: pembacanya) dengan berbagai bentuk. Sehingga, antara pecinta satu dengan pecinta lainnya memiliki cara berbeda dalam menilai dan memaknai Sang Kekasih (al-Quran).
Mengembangkan apa yang dipaparkan oleh Esack, dalam tulisan ini penulis mencoba untuk memaparkannya dalam versi yang sedikit berbeda.
Pertama, “pembaca awam”, yang oleh Esack disebut sebagai “pecinta tak kritis” (the uncritical lover). Mereka bisa dipilah menjadi dua pilahan. Kelompok pertama adalah: para pembaca al-Quran dengan tanpa bekal iman” dan ilmu, dan kelompok kedua adalah: para pembaca al-Quran yang hanya berbekal iman, tanpa ilmu yan memadai.
Pilahan pertama adalah para pembaca yang membaca al-Quran sebagai kegiatan sosio-kultural. Mereka sebenarnya bukan pecinta al-Quran, tetapi sekadar menikmati budaya-baca al-Quran. Orang ini biasanya membaca al-Quran pada acara-acara yang diselenggarakan hanya sekadar untuk membaca al-Quran. Misalnya: Yasinan, Tahlilan, Selamatan dan upacara-upacara adat lain yang seringkali tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaksanaan syari’at Islam.
Karena mereka membaca al-Quran tanpa bekal iman dan ilmu, maka setelah membaca tidak pernah berbekas apa pun pada dirinya, kecuali “paket makanan” yang dibawa dari tempat-tempat pembacaan al-Quran. Tidak pernah ada perubahan apa pun, kecuali “puas” karena sempat berkumpul dan merasa sudah membaca al-Quran.
Pilahan kedua adalah para pembaca yang “membaca” al-Quran dengan bekal iman tanpa ilmu yang memadai. Orang yang menduduki level ini biasanya jatuh cinta pada pandangan pertama. Kecantikan seorang kekasih telah “membutakan” mata hatinya, seakan tak ada sesuatu yang lain yang lebih layak dicintai daripada kekasihnya. Pecinta menilai, sekujur tubuh dan apa saja yang melekat pada tubuh sang kekasih itu indah, mempesona, dan sempurna.
Dalam konteks pembaca al-Quran, pecinta tak kritis selalu memuja-muja al-Quran. Al-Quran adalah segala-segalanya. Ia memperlakukukannya seperti permata berlian, tanpa pernah tahu apa manfaatnya. Baginya, al-Quran dianggapnya sebagai sebuah jawaban paripurna terhadap segala persoalan, tetapi ia tidak tahu bagaimana proses memperoleh atau membuat jawaban-jawaban tersebut. Ia hanya mengkonsumsi atau mendaur-ulang jawaban-jawaban al-Quran dari orang lain.
Posisi pecinta ini ditempati oleh kaum mayoritas muslim; mereka memperlakukan al-Quran hanya sebatas bahan bacaan yang dilafalkan di ujung lidah. Mereka “bertadarus al-Quran”, seperti yang bisa disaksikan di banyak mesjid, mushalla, surau dan tempat-tempat tadarus al-Quran pada bulan Ramadhan.
Kedua, “para peminat studi al-Quran”, sekelompok orang yang suntuk berwacana dengan al-Quran, yang ia sebut sebagai “pecinta ilmiah” (the scholarly lover).
Pecinta tipe ini mengagumi segala keindahan yang dimiliki Sang Kekasih. Hal yang membedakannya dengan pecinta pertama adalah: “keberanian dan kecerdasannya untuk memaknai seluruh keindahan yang melekat pada tubuh Sang Kekasih”. Rasa kagumnya pada Sang Pujaan Hati tidak membuat dia mabuk kepayang, apalagi sampai lupa daratan.
Pecinta ilmiah (al-Quran) selalu merenung dan mempertanyakan kenapa al-Quran ini begitu indah dan mempesona, dan apa makna di balik keindahannya. Pertanyaan-pertanyaan ini kemudian ia jawab dengan segenap kemampuan ilmiahnya — yang ia miliki — dan kemudian dituangkan dalam bentuk – misalnya — karya tafsir dan pelbagai hasil kajian al-Quran lainnya. Dengan ungkapan lain, di samping ia selau merindukan kehadiran al-Quran, ia juga membaca, memahami, dan menafsirkan ayat-ayatnya dan berkarya ilmiahl dengan al-Quran yang telah ia baca dan (ia) cerna maknanya.
Para pecinta ini telah menghasilkan sejumlah karya ilmiah yang sungguh bermakna bagi pengembangan studi al-Quran, dan – oleh karenanya – patut disebut sebagai “Ilmuwan al-Quran”.
Ketiga, penggali makna dan pengamal kritis al-Quran, yang ia sebut sebagai “pecinta kritis” (the critical lover).
Pecinta yang ketiga ini adalah sekelompok orang yang terpikat pada Sang Kekasih, tetapi tidak menjadikannya “gelap mata”. Mereka gemar membaca, memahami, dan menafsirkan beberapa organ tubuh Sang Kekasih (al-Quran), Mereka mampu bersikap proporsional terhadap segala sesuatu yang menempel pada tubuh Sang Kekasih.
Dan semua mereka lakukan demi rasa cintanya dan perhatian tulusnya pada Sang Kekasih.
Untuk mengetahui itu semua, para pecinta pada level ini – seolah-olah — rela “menikahi” Sang Kekasih (baca: al-Quran) dan memanfaatkan sebagai “kawan setia” untuk menggali memahami makna hidup dan memaknai hidupnya lebih dalam dari pada pecinta kedua (pecinta ilmiah).
Dengan metode seperti itu, para pecinta ini bisa berdialog dan berinteraksi dengan al-Quran, dan sekaligus mampu menyingkap segala misteri yang melingkupinya. Hasil dialog dan interaksinya itu kemudian mereka wujudkan bukan hanya dalam bentuk karya-ilmiah yang diasumsikan bisa menjawab persoalan zaman, bahkan menjadi bangunan “al-akhlâq al-karîmah” (akhlak mulia).
Pecinta jenis ketiga inilah yang pernah ada di zaman Rasulullah s.a.w., dan dicontohkan sendiri oleh Rasulullah s.a.w. bersama para sahabatnya. Dan oleh karenanya, tentu saja diharapkan selalu ada di setiap zaman. Termasuk di dalamnya: “kini” di belahan bumi Indonesia kita tercinta.
Mampukah warga ‘Aisyiyah memulainya, untuk menjadi yang pertama dan utama, pembaca al-Quran kelompok ketiga: “Pembaca-Kritis” yang mampu menggali makna al-Quran dan mengamalkannya, sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Rasulullah s.a.w. dan generasi “salafus shâlih?”
Insyâallâh (Muhsin Hariyanto)

Leave a Comment