akan segera tiba. Kedua puasa tersebut yakni puasa tasu’ah dan asyura yang
dilakukan tiap 9 Muharram dan asyura tiap 10 Muharram.
Sebelum
melaksanakan puasa, harus ada niat dulu. Ya, niat puasa Tasu’ah dan Asyura
tentu harus diketahui sebelum melaksanakannya.
Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa
segala sesuatu itu bergantung pada niat.
Saat niat di dalam hati seseorang menyatakan maksudnya, dalam hal
ini berpuasa (qashad).
Di samping qashad, seseorang juga
menyebutkan hukum wajib atau sunah perihal ibadah yang akan dilakukan. Hal
ini disebut ta’arrudh.
Baca Juga: Kelebihan dan Keistimewaan Bulan Muharram
saat niat adalah penyebutan nama ibadahnya (ta’yin).
Dalam
konteks puasa sunah tasu‘a (9 Muharram) dan asyura (10 Muharram), ulama
berbeda pendapat perihal ta‘yin.
Sebagian ulama menyatakan
bahwa seseorang harus mengingat ‘puasa sunah Asyura’ saat niat di dalam
batinnya.
Sedangkan sebagian ulama lain menyatakan bahwa tidak
wajib ta’yin.
Hal ini dijelaskan oleh Syekh Ibnu Hajar
Al-Haitami sebagai berikut.
وَالْأَسْنَى فَإِنْ قِيلَ قَالَ فِي الْمَجْمُوعِ هَكَذَا أَطْلَقَهُ
الْأَصْحَابُ وَيَنْبَغِي اشْتِرَاطُ التَّعْيِينِ فِي الصَّوْمِ
الرَّاتِبِ كَعَرَفَةَ وَعَاشُورَاءَ وَأَيَّامِ الْبِيضِ وَسِتَّةٍ
مِنْ شَوَّالٍ كَرَوَاتِبِ الصَّلَاةِ أُجِيبُ بِأَنَّ الصَّوْمَ فِي
الْأَيَّامِ الْمَذْكُورَةِ مُنْصَرِفٌ إلَيْهَا بَلْ لَوْ نَوَى بِهِ
غَيْرَهَا حَصَلَ أَيْضًا كَتَحِيَّةِ الْمَسْجِدِ ؛ لِأَنَّ
الْمَقْصُودَ وُجُودُ صَوْمٍ فِيهَا ا هـ زَادَ شَيْخُنَا وَبِهَذَا
فَارَقَتْ رَوَاتِبَ الصَّلَوَاتِ ا ه
Artinya, “Perkataan ‘Tetapi mencari…’ merupakan ungkapan yang
digunakan di Mughni, Nihayah, dan Asna. Bila ditanya, Imam An-Nawawi
berkata di Al-Majmu‘, ‘Ini yang disebutkan secara mutlak oleh ulama
Syafi’iyyah.
Semestinya disyaratkan ta’yin (penyebutan nama
puasa di niat) dalam puasa rawatib seperti puasa ‘Arafah, puasa Asyura,
puasa bidh (13,14, 15 setiap bulan Hijriyah), dan puasa enam hari Syawwal
seperti ta’yin dalam shalat rawatib’. Jawabnya, puasa pada hari-hari
tersebut sudah diatur berdasarkan waktunya.
Tetapi kalau
seseorang berniat puasa lain di waktu-waktu tersebut, maka ia telah
mendapat keutamaan sunah puasa rawatib tersebut. Hal ini serupa dengan
sembahyang tahiyyatul masjid.
Karena tujuan dari perintah puasa
rawatib itu adalah pelaksanaan puasanya itu sendiri terlepas apapun niat
puasanya.
Guru kami menambahkan, di sinilah bedanya puasa
rawatib dan sembahyang rawatib,” (Lihat Syekh Ibnu Hajar Al-Haitami,
Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj).
Untuk memantapkan hati, ulama menganjurkan seseorang untuk melafalkan
niatnya.
Berikut ini lafal niat puasa tasu‘a.
تَعَالَى
Nawaitu shauma ghadin ‘an adâ’i sunnatit Tasû‘â lillâhi
ta‘âlâ.
Artinya, “Aku berniat puasa sunah Tasu‘a esok hari karena
Allah SWT.”
Sedangkan lafal niat puasa sunah asyura sebagai
berikut.
تَعَالَى
Nawaitu shauma ghadin ‘an adâ’i sunnatil âsyûrâ lillâhi ta‘âlâ.
Artinya, “Aku berniat puasa sunah Asyura esok hari karena
Allah SWT.”
Orang yang mendadak di pagi hari ingin mengamalkan
sunah puasa tasu’a atau asyura diperbolehkan berniat sejak ia berkehendak
puasa sunah.
Karena kewajiban niat di malam hari hanya berlaku
untuk puasa wajib (menurut madzhab Syafi’i).
Untuk puasa sunah,
niat boleh dilakukan di siang hari sejauh yang bersangkutan belum makan,
minum, dan hal-hal lain yang membatalkan puasa sejak subuh.
Ia
juga dianjurkan untuk melafalkan niat puasa tasu’a atau asyura di siang
hari.
Berikut ini lafalnya.
أو عَا شُورَاء لِلهِ تَعَالَى
Nawaitu shauma hâdzal yaumi ‘an adâ’i sunnatit Tasû‘â awil âsyûrâ
lillâhi ta‘âlâ
Artinya, “Aku berniat puasa sunah Tasu’a atau Asyura hari ini
karena Allah SWT.”